Sebuah kisah nyata bertabur Hikmah Penyubur Iman yang terlukiskan dalam buku berjudul “Sandiwara Langit” sungguh menarik
saya untuk membacanya. Buku karangan Abu Umar Basyier  yang terbit tahun 2008 ini memberikan pesan tentang cinta kasih dua anak manusia yang beraroma surga. Dilengkapi konflik batin yang memuncak membuat kisah ini sangat menginspirasi dengan sifat dua tokoh utama yang sabar dan selalu ikhlas semata-mata demi ridhoNya.
“…Kenallah seorang ustadz dengan pemuda berusia 20 tahun yang selalu mengikuti acara pengajiannya. Pemuda ini bernama Risqaan yang taat dan rajin mengikuti acara pengajian. Sedangkan anak sebayannya lagi gemar-gemarnya main, nongkrong, hedon, hang out, club, dsb. Ini yang menggambarkan begitu taatnya dia ke Sang Pencipta.
Suatu ketika di acara pengajian yang digelar di masjid dekat dengan rumahnya, muka risqaan nampak bingung, seperti ada yang mau ditanyakan. Akhirnya sang ustadz menanyakannya. Dan risqaan akhirnya bicara, “Assalamu’alaikum ustadz…, gini ustadz saya mau nanya, apakah saya boleh nikah?. Sang ustadz menjawab, “Tentu saja boleh pemuda, Bahkan nikah itu ibadah”. “Tapi gini ustadz, saya tu baru berumur 20 tahun, belum juga punya pekerjaan. Apa ntar diterima oleh calon mertua saya?”. “Emang udah ada calonnya?”, tanya ustadz. Si Risqaan menjelaskan kalau calonnya adalah Halimah, wanita muslimah yang juga tinggal di daerahnya.
Halimah…itulah nama wanita yang akan dinikahi Risqaan. Sosok wanita muslimah, yang selalu memakai jilbab sejak kelas 5 SD. Orang tuanya pun takut lihat perubahan halimah, takut ia masuk ke aliran yang gak searah agama islam. Halimah yang umurnya lebih muda dari risqaan, baru saja menamatkan SMUnya. Ia mempunyai 2 kakak laki-laki. Kakak paling tuanya sangat buruk akhlaknya. Kakak keduanya sangat pendiem, dan penurut.
Suatu ketika tibalah lamaran tersebut. Orang tua Halimah yang secara materi jauh dari orang tua risqaan, menunjukkan suatu kesombongan. Mereka mengajukan perjanjian dengan risqaan yang isinya adalah Ketika 10 tahun halimah dan risqaan berumah tangga, dan kehidupan rumah tangganya tidak berubah maka risqaan wajib menceraikan halimah. Sesuatu hal yang mencekek leher risqaan. Pikirnya, begitu rendahkan diri ini, apakah pernikahan adalah hanyalah sebuah permainan. Dengan hati terpaksa, risqaan pun menyetujuan surat perjanjian tersebut.
Sebuah pernikahan terjadi, akhirnya risqaan dan halimah merantau ke kota dengan bekal perhiasan orang tua risqaan satu-satunya. Sedangkan orang tua halimah sudah tidak mau ikut campur lagi, menyerahkan sepenuhnya kepada risqaan. Dengan bekal uang hasil penjualan perhiasan tersebut, akhirnya mereka bisa mengontrak rumah. Sisa uangnya untuk makan sehari-hari yang tidak  cukup untuk 2 bulan.
Sungguh perjalanan yang pahit rumah tangga muda ini. Sampai suatu ketika mereka harus makan sama garam dan bawang goreng saja. Dengan keteguhan iman, keduanya berfikir mau memulai usaha apa, sedangkan uang ditangan tidak mencapai 200 ribu . Akhirnya si risqaan ditawari kenalannya berjualan roti keliling. Modal itu cukup, sisanya untuk keperluan sehari-hari. Dengan keuntungan yang tidak seberapa karena harus mencari pelanggan dahulu, namun si risqaan tetap tabah dan terus ikhtiar. Ia pun nggak mau beli makanan di jalan, sedangkan istrinya menahan lapar di rumah.
Lama-kelamaan, risqaan mempunyai pelanggan yang tetap sehingga seharinya ia bisa dapat keuntungan 25.000. Berlanjut terus berlanjut, ia pun bisa membuat pabrik roti sendiri dengan beberapa karyawan di dalamnya. Untungnya per hari mencapi jutaan rupiah. Ia bisa membangun rumah, dan membeli mobil. Lengkap sudah kebahagiaannya dengan dikarunianya anak pertama.
Tidak semulus itu perjalanan mereka. Banyak pesaing yang nakal dalam usahannya. Pelanggan tetap risqaan direbut oleh produsen roti lain dengan tawaran harga yang lebih murah. Tetapi dengan kejujuran dan keuletan risqaan. Omzet penjualan pabriknya normal kembali bahkan naik setelah beberapa bulan mengalami penurunan drastis.
Hampir mencapai umur 10 tahun usia perkawinannya dengan halimah. Beberapa hari lagi risqaan, akan melaporkan kalau dia bisa membahagiakan putrinya. Tetapi apa yang terjadi..Pabrik roti risqaan dan rumahnya yang berdekatan terbakar hebat. Orang tua risqaan, yang saat itu menginap juga mengalami musibah kebakaran. Sampai akhirnya ayah risqaan meninggal, sedangkan ibunya harus dirawat di rumah sakit. Halimah menangis tak henti-hentinya dan akhirnya pingsan.
10 tahun tepat usia pernikahan mereka. Saat itu risqaan sedang menunggu ibunya yang berbaring di rumah sakit. Tiba-tiba orang tua halimah datang. Kedatangannya bukan untuk menanyakan kabar risqaan dan ibunya, tak lain tak bukan membahas perjanjian 10 th yang lalu. Hati risqaan bergejolak hebat, langit hitam menyelimuti dirinya, mukanya berubah pucat. Tanpa basa-basi ayah Halimah menagih janji risqaan untuk menceraikan halimah karena kondisi risqaan sudah tak punya apa-apa lagi. Air mata tak bisa tertahan dari mata risqaan dan halimah. Mereka sebenarnya tak menginginkan seperti ini, tapi ini sebuah perjanjian yang harus mereka tepati.
Risqaan dan Halimah akhirnya resmi bercerai. Risqaan memulai hidup baru dengan uang yang tersisa dalam ATM tabungannya yang tidak ikut terbakar. Ia memulai jualan roti lagi dari kecil. Hingga suatu saat kehidupan bisa normal kembali. Dia bisa membangun rumahnya kembali dan bisa membeli mobil. Meski sudah bercerai Risqaan tetap mengirim uang buat anak dari Halimah yang ikut dengan neneknya.
Halimah yang sudah mencapai masa tunggunya, akhirnya dijodohkan dengan seorang lelaki anak pejabat kaya. Ia tidak mau karena sosok laki-laki itu berbeda jauh dengan risqaan mantan suaminya. Laki-laki itu tidak pernah sholat dan kurang pemahaman agama, sehingga ia yakin bahwa laki-laki itu tidak bisa jadi imam yang baik. Tetapi alasan apa untuk menolak lamarannya??sampai suatu ketika keadaan halimah sering mengalami drop, pingsan dsb. Ketika diperiksa, diketahui bahwa ia mengidap penyakit leukimia, yang umurnya tinggal beberapa tahun lagi. Ternyata ini menjadi alasan halimah untuk mengetahui keseriusan laki-laki yang ingin melamarnya. Tapi nyatanya laki-laki itu mundur, tidak siap menjadi pendampingnya.
Mengetahui keadaan anaknya, yang umurnya tidak lama lagi, Â kedua orang tua halimah luluh hatinya. Akhirnya dia kembali bertemu dengan risqaan berniat untuk memintanya menikahi kembali anaknya. Risqaan sangat senang sekali. Tetapi halimah malah yang ragu. Saat ngobrol empat mata di lantai atas, halimah menanyakan kembali ke risqaan, “Abuya, apa kamu siap menikahi aku?”, “Saya belum jadi suamimu lagi, jangan panggil abuya lagi, insya Allah saya siap, saya mencintaimu karena Allah”. “Ijinkan saya tetap memanggilmu dengan abuya, tapi bener abuya, kamu siap?setelah kamu tau kalau aku berbeda?”. Panjang lebar halimah menceritakan, kalau hasil check up ke dokter. Ia divonis mengidap penyakit leukimia dan umurnya tidak berapa lama lagi. Tetapi risqaan, tetap saja mau menikahinya.
Halimah begitu senang, karena dia rindu menjadi istri suami sholeh seperti risqaan. Tidak berapa lama kebahagiaan menjadi pelengkap kehidupan risqaan dan halimah yaitu anak keduanya lahir. Hari-hari penuh senyuman nampak pada keluarga ini, tetapi suatu ketika tiba-tiba polisi mengabarkan bahwa kakak pertama halimah masuk ke penjara. Ia terlibat dalam kasus pengedaran obat bius. Sentak kedua orang tua halimah yang sedang berkumpul di rumah risqaan kaget. Apalagi dikabarkan yang terlibat dalam pembakaran pabrik risqaan adalah ia sendiri, kakak pertama halimah. Kondisi halimah yang saat itu sedang kurang baik akhirnya pingsan. Kondisinya semakin memburuk hingga menjelang maghrib.
Halimah bertanya dengan nada lemas, “Abuya, apa sudah maghrib?”. “Sebentar lagi”, jawab risqaan.
“Abuya apa kau mencintaiku?”
“Aku mencintaimu karena Allah”
“Sama abuya, aku juga mencintaimu karena Allah, Apa kau juga meridhoiku jadi istrimu?”
“Aku ridho, kamu istri yang sangat sholehah, tak ada alasan untuk tidak meridhoimu”
“Aku lega sekarang, apa pun yang terjadi atas diriku, kini aku sudah kembali menjadi istrimu. Aku telah berdoa setiap malam, agar bisa hidup berdampingan dengan suami yang sholeh. Sehingga kalaupu mati, aku akan mati degan keridhaan Allah, kemudian keridhaan suamiku..”
Halimah menghela nafasnya dengan rasa berat.
“Abuya, bila aku sudah tiada, berjanjilah untuk senantiasa berjalan atas ajaran Allah. Didiklah anak kita, dan berbaktilah kepada orang tua…”
“Jangan berkata begitu adinda..” Risqaan menyela.
Halimah memberi isyarat dengan tangannya, agar risqaan tak bertanya apa-apa.
“Bernjanjilah abuya..”
“Aku berjanji adinda”
“Alhamdulilah…”
“Abuya,..tabir itu mulai terbuka…aku mencintaimu, abuya. Abuya tak perlu meragukan cintaiku. Tapi aku lebih merindukan Allah. Bila kini kesempatanku bersua denganNya. Aku tak kan menyia-nyiakannya sedikit pun..”
“Adinda…”
“Laaaa ilaaaha illallah..muhammadurrasulullah…”
“Adinda…”
“Laaaa ilaaaha illallah..muhammadurrasulullah…”
“Laaaa ilaaaha illallah..muhammadurrasulullah…”
“Laaaa ilaaaha illallah..muhammadurrasulullah…”
suara tahlil itu mengalun lembut dan syahdu dari mulut Halimah. Tapi semakin lama semakin lemah suaranya. Hingga akhirnya halimah menghembuskan napas terakhirnya. Sang ibu menjerit, dan sang Bapak menangis. Risqaan tak kuasa menahan air matanya yang tiba-tiba mengalir deras. Pernikahannya dengan halimah yang merupakan masa kembalinya kebahagiannya yang beberapa saat nyaris lenyap, kini nyaris terenggut kembali. Tapi kepergian halimah yang mengaurakan sebuah surga, membuat hatinya terasa nyaman. Â Ia bangga sama istrinya. Betapa bahagianya Halimah.